CAF : BERANINYA KOK SAMA RAKYAT KECIL
Lutfi Sarif Hidayat
Direktur Civilization Analysis Forum (CAF)
@lutfisarif
Meski tidak seramai dengan pemberitaan kasus-kasus teror, wacana kebijakan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk petani tebu menarik perhatian saya. Dari media yang saya baca keputusan Kementerian Keuangan menetapkan pajak 10 persen untuk para petani tebu dianggap akan menguntungkan para petani. Sebab, para petani tebu tersebut lebih efisien.
Alasan lainnya, sebagaiman disampaikan Direktur Tanaman Semusim Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Agus Wahyudi adalah agar petani fokus pada tebu saja, tidak sampai ke gula. Menurutnya selama ini, para petani menggunakan sistem bagi hasil sehingga petani mendapatkan gula. Selain itu, dijelaskan bahwa jika tanaman perkebunan memiliki pertambahan nilai, maka sepatutnya dikenakan pajak, termasuk tebu.
Di sisi lain, tidak sedikit kelompok-kelompok petani yang menolaknya. Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M. Nur Khabsyin menegaskan, bahwa petani menolak kebijakan tersebut karena memberatkan dan akan menambah beban kerugian petani. Selain itu, saat ini petani mengalami kerugian akibat rendemen rendah, kenaikan biaya produksi, dan turunnya produksi tebu di kebun.
Beberapa media yang saya baca, juga memberitakan bahwa petani tebu di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menolak wacana kebijakan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk gula tebu karena dinilai merugikan petani. Sebagaimana tanggapan dari Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) Saribuana Sadjam Budi Santoso atas wacana tersebut.
Bahkan sekelompok petani tebu dari Jawa Timur mendatangi Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengadukan nasib mereka pada Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Para petani tebu keberatan dengan kebijakan pajak gula yang dibebankan pada petani.
Atas wacana kebijakan ini, ada beberapa catatan dari saya yang kiranya perlu untuk dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan. Pertama, saya melihat bahwa komoditas gula termasuk barang strategis dan bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat, sehingga tidak tepat jika dikenakan PPN, mengingat beras, jagung, dan kedelai tidak dikenakan PPN. Sebab jika kebijakan ini diberlakukan, akan terjadi potensi berkurangnya pedagang yang membeli gula kepada petani karena harus menanggung PPN, sehingga gula petani cenderung tidak diminati.
Padahal jika dibandingkan dengan data yang saya dapat, bahwa quota impor gula pada tahun 2016 adalah sebesar 381.000 ton. Kemudian jika pada tahun 2017 diberlakukan PPN 10 persen, maka akan berpotensi menurunkan produksi tebu dari petani. Sehingga kemungkinan pada tahun 2018 quota impor gula akan dinaikan lagi. Jika ini terjadi, siapa yang akan diuntungkan dan dirugikan? Petani pasti akan dirugikan.
Kedua, jika mengacu pada keputusan MK pada 29 Februari 2017, termasuk Pemendag Nomor 27 Tahun 2017 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET), penganaan PPN semestinya tidak terjadi. Sebab MK telah membatalkan keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang pengenaan PPN terjadap 11 kebutuhan pokok.
Ketiga, saya melihat masih ada cara lain agar bisa memberikan keuntungan kepada semua pihak. Menurut Menteri Pertanian Amran Sulaiman, keuntungan dari sistem kartel bawang putih sekitar 10 trilliun. Semestinya gula lebih besar lagi, sehingga petani tebu tidak perku diberikan pajak. Menurut Dr. Rizal Ramli harga gula dua kali lipat harga dunia. Seandainya quota yang ada ditenderkan, keuntungan yang akan diterima berkali-kali lipat dibandingkan harus mengenakan pajak.
Keempat, jangan sampai wacana pengenaan PPN terhadap tebu ini sebagai “jalan pintas” untuk mendapatkan “uang segar dan cepat” karena dituntut harus membayar utang negara. Jika ini benar-benar terjadi, maka pemangku kebijakan telah mengorbankan rakyat kecil. Kok beraninya hanya dengan rakyat kecil !
Jogja, 10 Juli 2017






No comments