CATATAN ILC : PERPPU DAN KEBINGUNGAN POLITIK PENGUASA
Oleh : Nasrudin Joha
Ada ungkapan dalam ILC yang membuat saya terperangah mendengarnya. Rocky Gerung menyebut *Perppu lahir karena kecemasan dan kedunguan. Terbit bukan karena Kegentingan yang memaksa, tetapi memaksakan Kegentingan.*
Ungkapan Rocky Gerung ini bisa dibenarkan jika kita telaah lebih lanjut, terutama agak ke belakang sebelum diterbitkannya Perppu.
_*Pertama*_, sebelum Perppu terbit Wiranto mengumumkan rencana pembubaran HTI. Kala itu Wiranto menyebut 3 (tiga) alam pembubaran : HTI tidak memberi kontribusi positif, bertentangan dengan Pancasila dan menimbulkan benturan ditengah masyarakat.
Dari sini bisa dipahami bahwa Perppu terjadi bukan karena Kegentingan, tetapi karena kecemasan. Kecemasan ini muncul pada satu keyakinan bahwa Pemerintah tidak akan sanggup membuktikan tuduhan pada HTI di pengadilan.
Mengenai tiga tuduhan Pemerintah ini, Ismail Yusanto sendiri telah dengan secara tegas dan gamblang membantah sekaligus mengklarifikasinya secara rinci tudingan itu.
Karenanya Pemerintah cemas, cemas atas peluang kalah di pengadilan belum lagi kalah dengan waktu tempuh yang harus dilalui, 3 sampai 5 tahun putusan baru berkekuatan hukum tetap sebagaimana diterangkan Wiranto.
Kecemasan ini melahirkan pikiran untuk mencoba menyimpangi proses pengadilan dengan mengambil alih wewenang membubarkan ormas secara otoritatif melalui dalih asas *"Actus Contrarius".*
_*Kedua*_, kedunguan yang dimaksud Rocky mungkin pembacaan terhadap alasan (baca: dalih) yang diajukan Pemerintah untuk melegitimasi keluarnya Perppu.
Alasan Kegentingan tidak relefan untuk disampaikan mengingat sebelum terbitnya Perppu tidak ada satupun *"State Of Emergency"* oleh Presiden Jokowi sebagaimana pidato SBY Pra terbitnya Perppu anti terorisme pada sekitar tahun 2002-2003.
Bahkan Ismail Yusanto beberapa kali dalam berbagai kesempatan menyebut Jokowi masih bisa Vloging dan selfi-selfi. Lantas dimana letak kegentingannya ?
Kekosongan hukum juga tidak terjadi, justru UU. No. 17/2013 telah memberikan mekanisme secara rinci atas langkah dan penindakan ormas yang dipandang menyimpang bahkan sampai tahap pencabutan status badan hukum (pembubaran).
Terakhir yang paling konyol bahkan menjadi parodi intelektual yang paling lucu, ketika Pemerintah berdalih dengan asas _Contrarous Actus_ untuk memindahkan otoritas pembubaran dari Palu pengadilan kepada Pemerintah secara mandiri.
Sampai-sampai dalam satu analogi, Yusril menyebut asas tersebut tidak tepat untuk diterapkan pada konteks UU ormas sebagaimana asas contrarius Actus tidak mungkin diterapkan pasa proses pembubaran perseroan terbatas atau pembatalan buku nikah.
Mungkin inilah tafsiran "kedunguan" yang dimaksud Rocky Gerung. Maka atas dasar dan kebijakan hukum ini, banyak pihak yang menilai Perppu yang dikeluarkan Pemerintah tidak memiliki basis akademis dan yuridis.
Selanjutnya dapat dibenarkan pula pernyataan Rocky Gerung yang menyatakan Perppu bukan karena Kegentingan memaksa tetapi justru memaksakan Kegentingan.
Memaksakan tafsir "Kegentingan yang memaksa" dengan kaidah gatuk matuk, sekehendak sendiri. Yang penting ada alasan Perppu keluar. Padahal, publik justru membaca tidak ada Kegentingan. Justru Pemerintah memaksakan Kegentingan.
Pada sesi akhir diskusi TV One, penulis justru khawatir. Perppu yang idealnya keluar karena kondisi genting justru menimbulkan suasana genting.
Sebab betapa tidak, jika Perppu yang sedang diuji materi di MK, kemudian dalam beberapa hari kedepan tiba-tiba dijadikan dasar Untuk mengeluarkan SK pembubaran ormas, ini akan menimbulkan situasi genting.
Kegentingan itu bukan pada ormas yang dibubarkan. Ibarat kata pepatah, hilang satu tumbuh seribu. Hari ini ormas A dibubarkan, besok langsung deklarasi ormas B. Ormas B di bubarkan lagi, pengurus dan anggotanya bentuk lagi ormas baru bernama C. Begitu seterusnya.
Jadi hemat penulis, bagi ormas Kegentingan itu tidak ada, biasa saja, tidak akan berpengaruh aktivitas dan kegiatan ormas pasca turunnya SK.
Justru yang wajib diperhatikan dan kondisinya menjadi super genting yakni manakala putusan MK keluar dan HTI dimenangkan.
Maka SK pembubaran yang bersandar pada Perppu padahal Perppu akhirnya dibatalkan MK, dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Jika pelanggaran ini diambil manfaat oleh pihak-pihak tertentu dan dikaitkan dengan dugaan pelanggaran undang undang oleh Presiden, kemudian muncul wacana Pema'zulan Presiden, maka inilah esensi Kegentingan itu.
Presiden bisa dipandang telah melanggar undang undang melakukan pembubarsan Ormas tertentu berdasarkan Perppu. Padahal, Perppu itu sendiri telah dibatalkan MK.
Kegentingan selanjutnya adalah waktu yang cekak dengan Pilpres 2019. Jika Presiden memaksakan pembubaran ormas melalui Perppu akan muncul kesimpulan publik Presiden bertindak otoriter! Presiden membubarkan ormas berdasarkan Perppu, padahal Perppu masih diuji di MK.
Secara hukum syah-syah saja menindak lanjut Perppu dengan mengeluarkan SK pembubaran ormas, meskipun Perppu sedang diuji MK. Namun secara politik, publik akan menilai adanya niat jahat dikeluarkannya Perppu yakni telah ada ormas yang hendak disasar melalui Perppu.
Tentu saja, ini mengkhawatirkan seluruh ormas. Sebab, mesin serbu bernama "Perppu" ini bisa saja setiap saat memberondong ke segala arah dan membunuh banyak ormas. Mereka tentu akan jadikan ini sebagai bahan agitasi untuk menolak Jokowi sebagai Presiden periode selanjutnya.
Jadi, sebaiknya Jokowi segera menarik Perppu tanpa menunggu putusan hukum di MK atau atau dinamika politik baik di DPR atau dinamika lain di masyarakat.
Kecerobohan membuat Perppu ini bisa jadi mengganggu kredibilitas dan elektabilitas Jokowi di 2019. Jika arus kontra Jokowi kuat dan DPR mengamininya, maka Perppu ini bisa menjadi jalan melengserkan Jokowi secara konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi. Inilah Kegentingan itu !
19 Juli 2017
No comments