Mana Yang harus Diutamakan, NAFKAH ISTRI ATAU NAFKAH ORANG TUA?
Oleh : Ust. Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA
Bermula dari pertanyaan yang masuk di inbox tentang pemaknaan ayat QS. An-Nur: 26, apakah ayat tersebut bisa difahamai dengan ala kadarnya sesuai dengan terjemahannya bahwa “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”, atau bagaimana?
Dengan merujuk kepada lebih kurang kitab tafsir; Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, As-Sya’rowi, Tafsir As-Sya’rowi, dan Ibnu Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, ¸ juga ditambah dengan bebarapa bacaan pendukung lainnya, dapatlah kita berikan penjelasan sederhananya sebagai berikut:
Tema Ayat
Surat An-Nur secara umum memang memberikan banyak pengajaran tentang tema kesucian, oleh karenanya para ulama sering berpesan agar perempuan muslimah sering membaca surat ini; surat cinta dari Sang Pencipta tentang kesucian, walaupun dilain pihak laki-laki dianjurkan untuk sering mentadaburi surat At-Taubah yang banyak memberikan pengajaran tentang pentingnya sebuah kejujuran, agar diri jauh dari sifat munafiq.
QS. An-Nur: 26 ini adalah ayat penutup yang Allah turunkan untuk menyatakan tentang kesucian Aisyah ra istri Rasulullah SAW dari tuduhan keji yang tersiar bahwa Aisyah ra sudah berlaku mesum dengan Sufyan bin Muatthal.
Jadi inilah tema sentral dari ayat yang sekarang menjadi pembahasan kita. Pengetahuan ini penting sekali untuk diketahui, agar ayat ini mula-mula kita fahami dulu sesuai dengan konteks dimana ayat ini turun, dan apa yang melatar belakangi turunnya, barulah kemudian ayat ini bisa kita bawa untuk menuju hikmah berikutnya yang mungkin ajan kita dapatkan selanjutnya
Makna Ayat
QS. An-Nur; 26 ini berbunyi:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Kata al-khabitsat pada ayat diatas setidaknya difahami dengan dua makna; Perkataan keji atau perempuan yang keji, pun begitu dengan kata at-thayyibat dan at-thayyibun bisa difahami dengan dua makna yag sama: Perkataan yang baik atau laki-laki yang baik.
Sebenarnya kedua pemakaan tersebut bisa kita ambil semua tanpa harus membuang salah satunya, dalam ilmu tafsir perbedaan pemaknaan ini masuk dalam kata gori ikhtilaf at-tanawwu’ dimana memungkin bagi kita untuk mengambil semua makna yang aslinya tidak saling bertentangan.
Jika kita fahami bahwa al-khabitsat itu bermakna perkataan yang keji, maka kira-kira makna ayat tersebut akan seperti ini: Perkataan keji itu hanya untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki keji itu memang layak mendapatkan perkataan yang keji, sedang perkataan baik itu untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu memang layak untuk mendapatkan perkataan yang baik.[ قال ابن عباس: الخبيثات من القول للخبيثين من الرجال، والخبيثون من الرجال للخبيثات من القول. والطيبات من القول، للطيبين من الرجال، والطيبون من الرجال للطيبات من القول.]. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra, seperti yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Quran Al-Azhim.
Namun jika kita memahaminya dengan arti perempuan yang keji, maka makna ayat tersebut akan seperti ini: “Perempuan yang keji itu untuk laki yang keji, dan laki-laki yang keji itu untuk perempuan yang keji pula, sedang perempuan yang baik itu untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu untuk perempuan yang baik pula” وقال] عبد الرحمن بن زيد بن أسلم: الخبيثات من النساء للخبيثين من الرجال، والخبيثون من الرجال للخبيثات من النساء، والطيبات من النساء للطيبين من الرجال، والطيبون من الرجال للطيبات من النساء]. Ini adalah pendapat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, juga seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.
Seperti yang sudah kita singgung diatas, bahwa kedua pemakanaan ini satu dengan yang lainnya bisa saling melengkapai, kedua pemaknaan ini mengarah kepada satu tema; pensucian Aisyah ra dari perkataan keji orang-orang munafik yang menebar isu miring tentang istri Rasulullah SAW ini.
Bahwa perkataan keji yang itu adalah isu panas yang tersebar dimana-dimana semestinya hanya untuk perempuan keji, bukan untuk perempuan yang suci. Pun begitu bahwa perempuan yang yang keji itu hanya untuk laki-laki yang keji pula.
Bagaimana mungkin isu keji itu diarahkan kepada sosok Aisyah ra yang suci. Dan mustahil rasanya istri Rasulullah SAW, orang yang paling bertaqwa didunia ini, adalah peremuan yang keji (berbuat mesum).
Itulah rahasianya mengapa kata al-khabitsat itu didaluhulukan, karena maksud awalnya adalah sesegera mungkin mensucikan sosok Aisyah ra atas isu yang melanda beliau, begitu menurut Ibnu Asyur dalam kitabnya At-Tahrir wa At-Tanwir.
Imam Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menguatkan bahwa memang sudah sunnahnya mereka yang mempunyai kesamaan itu akan bersatu, dan bersatunya Rasulullah SAW dengan Aisyah ra sebagai bukti bahwa Aisyah ra bukanlah perempuan keji seperti yang diisukan.
Sekufu'
Imam As-Sya’rowi dalam menafsirkan ayat ini memberikan penekanan yang lebih akan pentingnya kesamaan antara suami dan istri. Inilah yang disebut dengan sekufu'. Kesamaan yang dimaksud terutama dalam hal agama, walaupun tidak menutup kemungkinan persamaan cara berpikir, starata pendidikan, starata sosial dan ekonomi juga menjadi pertimbangan yang kuat.
Maka dalam prakteknya bisa dipastikan bahwa laki-laki baik juga akan mendamkan perempuan yang baik, dan perempuan yang baik juga akan berusaha mencari laki-laki yang baik.
Memang sulit mengukur tingkat kebaikan dalam katagori agama, kecuali jika sebelumnya ada pengakuan yang jujur. Namun disinilah pentingnya jalan musyawarah, dan ini jugalah rahasianya mengapa perempuan itu tidak boleh menikahkan dirinya sendirinya, wali menjadi syarat sahnya pernikahan, karena perempuan wajib memusyawarahkannya dahulu sebelum menerima atau menolak lamaran dari laki-laki yang datang.
Jangan hanya karena hati ini sudah berbunga-bunga lalu kemudian menutup mata akan penilaian yang lainnya; bagaimana aqidahnya, sholatnya seperti apa, bagaimana akhlaknya, seperti apa dia dimata keluarga dan shabatnya, seperti apa cara pandangnya tentang kehidupan, dan seterusnya.
Lalu tiba-tiba mau diajak kawin lari, atau malah kawin kontrak. Tidakkah kita berpikir bahwa bahwa dia yang tidak berani mendatangi perempuan dengan baik adalah ciri dari laki-laki yang tidak baik. Dan sebaliknya dia yang mau diajak berbuat tidak baik adalah ciri dari perempuan yang tidak baik.
Bertaubat adalah cara terbaik untuk melepaskan diri dari cap sebagai laki-laki atau perempuan buruk. Ini adalah cara perbaikan diri berkesinambungan yang diajarkan oleh Islam. Siapa yang mengakhirkan istighfarnya sedang ia mampu unutuk beristighfar sekarang, maka istighfarnya itu membutuhkan istighfar lainnya, inilah taubatnya taubat, seperti kata Ibnu QayyimAl-Jauzi.
Hukum Fiqih
QS. An-Nur: 26 ini mempunyai pertalian dengan ayat ketiga dari surat ini, bahwa:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Bagi seorang laki-laki, terkhusus bagi mereka yang sudah memiliki istri satu atau lebih, ada beban besar dipundaknya yang harus dia terima sebagai konsekwensi seorang laki-laki dewasa, bahwa sebagai seorang suami nafkah istrinya menjadi tanggung jawab yang harus dipenuhi, dan sebagi seorang anak dari kedua orang tua, jika memang mereka masih ada dan sudah tidak berpenghasilan maka beban nafkah orang tua juga harus dipikirkan.
Mencintai istri artinya seorang suami siap bertanggug jawab dengan kehidupannya dengan segala kebutuhannya, sehingga senyum bahagia itu selalu terlihat diwajah sang kekasih, dan menjadi anak laki-laki artinya juga harus siap bahwa dalam kondisi orang tua yang sudah lanjut usia apalagi sudah tidak berpenghasilan maka makan minum mereka juga harus diperhatikan, sehingga sebagai anak yang berbakti juga bisa membuat kedua orang tua terus tersenyum dihari tuanya.
Nafkah Istri
Seluruh ulama satu kata dalam hal ini/ijma’ bahwa wajib hukumnya suami memberi nafkah kepada istrinya setelah adanya proses pernikahan yang sah. Terlepas bahwa dalam sebagian kondisi justru istri yang “kelihatannya” memberi nafkah untuk suaminya karena suaminya pengangguran.
Maka dalam hal ini patut kiranya kita berikan apresiasi yang sebesarnya untuk sebagian istri yang sudah berlapang dada memberikan kebaikannya untuk keutuhan dan keharmonisan keluarga, walaupun sejatinya bisa saja bagi perempuan untuk menggugat perceraian karena alasan nafkah ini, tapi itu bisanya tidak dilakukannya.
Kewajiban nafkah yang dimaksud disesuaikan dengan kebutuhan standar istri baik sandang, pangan, maupun papan, tanpa harus ada batasan minimal atau maksimal, setidaknya ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih dari Hanafiyah, Malikiyah, sebagian dari Syafiiyah dan mayoritas ulama Hanabilah.
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt dalam surat Al-aqarah: 233:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf”
Dalam ayat diatas tidak disebut batasan minimal dan maksimal, justru yang ada hanya penyebutan ma’ruf (baik) dimana standarnya diserahkan kepada tempat dan budaya masing-masing.
Ayat diatas didukung dengan hadits Rasulullah saw terkait pesan beliau kepada Hindun yang mengadu bahwa suaminya tidak memberikan nafkah kepadanya, sehingga Rasulullah saw mengatakan:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah apa yang cukup untuk mu dan untuk anakmu dengan ma’ruf’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kaitannya dengan jenis nafkah istri intinya memang sandang, pangan dan papan, namun sebagian ulama fikih juga nemambahkan kewajiban jenis nafkah lainnya, seperti alat kecantikan, kebersihan, kesehatan, obat-obatan, hingga upah pembantu rumah tangga jika istri adalah bagian dari perempuan yang terbiasa diurus oleh pembantu selama berada bersama orang tuanya dulu.
Nafkah Orang Tua
Selain dari istri ternyata ada kewajiban tambahan dalam menafkahi keluarga, ini yang kadang kurang disadari oleh kita semua. Ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama fikih terkait siapa keluarga yang dimaksud, sebagian pendapat ada yang cenderung menyempitkan, dan sebagian pendapat lainnya ada yang bahkan sangat meluaskannya.
Namun pada akhirnya ada titik temu antara pendapat para ulama dalam urusan menafkahi keluarga, bahwa setiap ushul (bapak) wajib menafkahi furu (anak) dan kebalikannya juga bahwa setiap furu (anak) wajib menafkahi ushul (bapak).
Dalm kaitannya ushul ke furu Allah swt berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf”
Pemaknaan ayah dalam ayat di atas diungkap dengan redaksi maulud lahu / anak yang terlahir untuknya, disebut ayah karena ada anak yang dilahirkan oleh istrinya, jika istri yang melahirkan anak ini saja wajib diberi nafkah, maka sudah langsung otomatis anak ini juga wajib dinafkahi.
Ditambah dengan hadits Rasulullah saw kepada Hindun:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah apa yang cukup untuk mu dan untuk anakmu dengan ma’ruf’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam kaitannya furu (anak) menafkahi ushul (bapak) Allah swt berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23)
Dan termasuk dalam katagori ihsan/berbuat baik adalah menafkahi keduanya terlebih disaat mereka sudah tidak ada lagi pendapatan karena fisik yang sudah tidak kuat untuk bekerja, atau karena suatu keadaan sehingga mereka tidak mempunyai harta yang cukup.
Ditambah dengan sabda Rasulullah saw:
أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكِ، إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مَنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ، فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ
“Kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu, sesungguhnya anakmu adalah hasil terbaik usahamu maka makanlah dari hasil usaha anakmu” (HR. Abu Daud)
Nafkah Istri dan Orang Tua, Mana yang Harus Diutamakan?
Pada dasarnya menafkahi istri dan orang tua (yang sudah tidak mampu) harus berjalan beriringan, tidak memilih satu dan yang lain ditinggalkan, dan ini harus diusahakan dengan sekuat mungkin, seperti itulah agaman menginginkan, dan tentunya kita semua bercita-cita bahwa istri dan kedua orang tua kita dirumah hidup bahagia.
Namun jika memiliki pemasukan yang cukup atau bahkan kurang, maka para ulama berpendapat bahwa nafkah untuk istri dan anak harus lebih diutamakan sebelum nafkah yang lainnya. Hal ini disandarkan ke beberapa teks agama utamanya dari hadits Rasulullah saw, seperti dalam riwayat Imam Muslim:
عَنْ جَابِرٍ أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا ، بَيْنَ يَدَيْكَ ، وَعَنْ يَمِينِكَ ، وَعَنْ شِمَالِكَ
Dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda: “Mulailah (nafkah) dari dirimu, jika berlebih maka nafkah itu untuk ahlimu, jika berlebih maka nafkah berikutnya untuk kerabatmu, jika masih berlebih maka untuk orang-orang diantaramu, sebelah kananmu dan sebelah kirimu” (HR. Muslim)
Lebih lanjut, Rasulullah saw dalam sabda yang lainnya menjelaskan:
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقُوا. فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ .فَقَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ : عِنْدِي آخَرُ قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ .قَالَ : عِنْدِي آخَرُ .قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ . قَالَ : عِنْدِي آخَرُ .قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ. قَالَ : عِنْدِي آخَرُ . قَالَ: أَنْتَ أَبْصَرُ
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: “Bersedekahlah kalian”, lalu seseorang berkata: “Ya, Rasulullah saya mempunyai dinar” Rasulullah menjawab: “Sedekahlah dengan dinar itu untuk dirimu sendiri”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai (dinar) yang lainnya”. Rasulullah menjawab: “sedekahlah dengan itu untuk istrimu”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai dinar yang lainnya”, Rasulullah menjawab: “Sedekahlah dengan itu untuk anakmu”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai dinar yang lainnya”. Rasulullah menjawab: “Sedekahlah untuk pembantumu”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai dinar yang lainnya”. Rasulullah menjawab: “Kamu lebih tahu (untuk siapa lagi setelah itu) (HR. Abu Daud dan Nasai).
Dari sini para ulama melihat bahwa Rasulullah saw dalam hadits diatas mengurutkan mulai dari yang paling utama; istri, anak, pembantu. Nafkah pembantu idealnya juga bagian dari nafkah istri, seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf diatas. Lebih jelas berikut ini komentar sebagian ulama dalam perkara siapakah yang harus didahulukan jika memang nafkah istri dan orang tua tidak bisa berjalan keduanya:
وقال النووي : " إذا اجتمع على الشخص الواحد محتاجون ممن تلزمه نفقتهم ، نظرَ: إن وفَّى ماله أو كسبه بنفقتهم فعليه نفقة الجميع قريبهم وبعيدهم .وإن لم يفضل عن كفاية نفسه إلا نفقة واحد ، قدَّم نفقة الزوجة على نفقة الأقارب.
Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhatu At-Thalibin (jilid 9, hal. 93) menuliskan bahwa jika seseorang dibebani nafkah untuk orang-orang yang membutuhkan lebih dari satu orang, maka jika hartanya cukup untuk keduanya dia wajib menafkahi semuanya, namun jika hartanya tidakmencukupi kecuali untuk satu orang maka nafkah untuk istri lebih diutamakan dibanding nafkah keluarga lainnya.
قال المرداوي : " الصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ : وُجُوبُ نَفَقَةِ أَبَوَيْهِ وَإِنْ عَلَوَا ، وَأَوْلَادِهِ وَإِنْ سَفَلُوا بِالْمَعْرُوفِ ...إذَا فَضَلَ عَنْ نَفْسِهِ وَامْرَأَتِهِ
Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Inshaf (jilid 9, hal. 392) menjelaskan bahwa pendapat yang shahih dalam madzhab Hanbali bahwa wajib hukumnya menafkahi ayah (terus keatas) dan anak (terus kebawah) dengan cara yang ma’ruf… itu semua jika memang masih ada harta lebih setelah menafkahi diri sendiri dan istrinya.
قال الشوكاني: " وقد انعقد الإجماع على وجوب نفقة الزوجة ، ثم إذا فضل عن ذلك شيء فعلى ذوي قرابته "
Imam As-Syaukani dalam kitabnya Nail Al-Authar (jilid 6, hal. 381) menegaskan bahwa kewajiban memberi nafkah istri itu sudah sampai pada tahap ijma’, kemudian jika masih ada kelebihan harta barulah ada kewajiban nafkah untuk keluarga lainnya.
Sekali lagi bahwa sebisa mungkin masalah nafkah istri dan orang tua harusnya berjalan beriringan, tidak memilih satu dan yang lain ditinggalkan, dan ini harus diusahakan dengan sekuat mungkin, seperti itulah agaman menginginkan, dan tentunya kita semua bercita-cita bahwa istri dan kedua orang tua kita dirumah hidup bahagia.
Terlalu memihak kepada istri dalam urusan nafkah terkadang bisa membuat hati kedua orang tua tidak enak, penulis hanya khawatir kalau-kalau yang demikian bisa menjadi dosa durhaka kepada orang tua, lebih khawatir lagi jika kisah Al-Qamah yang durhaka itu terulang kembali, yang pada akhirnya sangat susah sakaratul mautnya. Dan sebaliknya, terlalu memihak kepada orang tua sehingga abai terhadap nafkah istri juga bukan hal yang baik, karena sebaik-baik kalian adalah yang paling baik degan keluarganya (baca:istri), dan saya (tegas Rasulullah saw) adalah yang paling dengan keluarga (baca: istri).
Wallahu A’lam Bisshawab
Rumah Fiqih Indonesia
No comments