THE THINNEST RULE OF LAW, PERPPU DAN KEDIKTATORAN
*THE THINNEST RULE OF LAW, PERPPU DAN KEDIKTATORAN*
by Prof. Suteki
Teman fb, Brian Z. Tamanaha dalam bukunya On The Rule of Law membagi Rule of Law (RoL) menjadi dua tipe:
1. Tipe RoL Formal dan
2. Tipe RoL Substantive
Dalam tipe RoL Formal RoL disebut sebagai The Thinnest RoL yang bercirikan penggunaan hukum sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Penguasa menggunakan hukum sebagai tameng untuk membenarkan semua tindakannya, tidak peduli tindakan benar atau pun tindakan yang salah. Jadi yang penting tindakan penguasa rezim pemerintahan selalu berlindung dibalik hukum dalam pengertian peraturan. Penguasa merasa telah absah bertindak yang penting ada peraturan yang mem-back up-nya sekalipun harus membuat peraturan yang prosedur pembuatannya menyimpangi prosedur dan peruntukkannya. Cara berpemerintahan negara yang mengandalkan kekuasaan dibalik peraturan akan terjun bebas dari negara hukum menjadi negara kekuasaan (diktator).
Di wall fb ini saya pernah menulis tentang ketidaksetujuan saya dengan penggunanaan jargon:
SAYA INDONESIA
SAYA PANCASILA,
yang saya khawatirkan akan terjatuh pada suatu sistem pemerintahan seperti saat Rezim Raja Perancis Louis XIV yang juga berjargon sejenis yakni dengan menyatakan:
L'ETAT C'EST MOI (NEGARA adalah SAYA), jargon ini sangat beraroma diktator karena siapa saja yang bertentangan, melawan saya, berarti melawan negara. Jargon SAYA INDONESIA, SAYA PANCASILA juga berpotensi melahirkan kediktatoran baru di Indonesia karena menempatkan Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan. Jargon itu dapat diartikan Siapa yang menentang SAYA berarti anti PANCASILA. Ormas yang menentang SAYA berarti menentang dan ANTI PANCASILA. Tentu kita tidak ingin keadaan ini terjadi bukan?
Penguasa rezim yang diktator akan memiliki kecenderungan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik dengan cara menggunakan kekuasaannya melalui sarana peraturan sebagai alat untuk menggebuk. Demi mempertahankan kekuasaannya penguasa rezim diktator dapat menyelesaikan suatu konflik yang mengganggu stabilitas pemerintahannya dengan prosedur baru yang menyimpang dengan prosedur lama yang sudah lama ditetapkan. Tindakan penguasa sesuai dengan kemauan penguasa bukan sesuai peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Peraturan baru dibuat juga dibuat sesuai penilaian internal penguasa. Konflik dengan kelompok masyarakat, yang dapat berupa organisasi masyarakat (ormas) oleh penguasa diktator diselesaikan tidak dengan berdialog dan "membina"-nya, melainkan dengan cara "membinasakan" dengan alasan bertentangan atau anti ideologi negara.
Saya berpendapat bahwa tidak seharusnya menyelesaikan konflik dengan masyarakat atau organisasi kemasyarakatan dengan cara mengamputasi kelompok masyarakat, apalagi diamputasi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) yang sulit dibuktikan adanya alasan kegentingan yang memaksa sbg dasar filosofi sebuah Perppu. Sebaliknya upaya yg seharusnya dilakukan adalah merangkulnya untuk diberdayakan dalam pembangunan melalui dialog sehingga kesejahteraan sosial (social welfare} dapat diwujudkan. Social Welfare inilah oleh Brian Z Tamanaha disebut sebagai The Thickest Rule of Law.
Boleh memang pemerintah mengeluarkan Perppu selama didasarkan pada alasan kegentingan yang memaksa dan ada kekosongan hukum dalam bidang tertentu. Apabila tidak ada alasan itu Perppu hanya sebagai cermin telah berjalannya sebuah penguasa rezim yang diktator. Apakah Perppu No 2 Tahun 2017 yang dikeluarkan sebagai cara untuk memperbarui UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa itu? Jawabnya, depend on: where is your coordinate? Bila Perppu dinilai oleh masyarakat telah dikeluarkan tidak sesuai dengan persyaratannya, maka Perppu rawan untuk digugat melalui mekanisme Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Akankah ormas-ormas Islam akan menggugat Perppu itu ke MK? We wait and see!
No comments