NKRI TIDAK PERNAH FINAL
Menarik pernyataan Hakim Hakim konstitusi Maria Farida Indarti,
"Misalnya saya mengatakan kenapa harus NKRI? Kenapa nggak negara serikat? Di mana provinsi-provinsi bisa hidup saling berkompetisi menjadi negara-negara bagian yang lebih bagus begitu. Dan saya berpendapat bahwa oh NKRI itu bukan harga mati, maka marilah kita mengubah NKRI itu menjadi negara serikat kembali. Saya berpendapat seperti itu misalnya, dan itu saya kembangkan. Apakah kebebasan saya berpendapat itu bertentangan dengan konstitusi?" Senin (1/8/2017).
Pernyataan tersebut mengembalikan ingatan kita tentang keberadaan Indonesia yang terus menerus mengalami perubahan status kondisi dari masa ke masa. Yang paling hangat tentu hilangnya Sipadan dan Legitan, salah satu kawasan pulau Indonesia, yang dicaplok oleh negeri tetangga.
Pasca Reformasi, melalui referendum wilayah provinsi Timor timor pun tak masuk lagi dari negara indonesia, dan kini berubah nama menjadi Timor Leste. Bahkan di awal-awal kemerdekaan, Indonesia pernah hampir sekarat, saat sekutu dan Belanda menguasai hampir seluruh kawasan pulau Jawa, sehingga pemerintah Indonesia memindahkan ibukota secara darurat ke Yogyakarta.
Irian jaya dan kemudian kini berubah nama menjadi Papua, juga bergabung jauh dari masa kemerdekaan. Sekalipun demikian, Baik bentuk dan sistem pemerintahan pun berubah-ubah pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Apakah sewaktu-waktu bentuk dan konstitusi negara bisa berubah? Tentu sangat bisa. Kita lihat saja, UUD 1945 bukanlah sebuah kitab suci, yang tak boleh diamandemen. Nyatanya, UUD 1945 telah melalui banyak amandemen dan para pelaku amandemen tak pernah disebut-sebut sebagai pelaku makar.
Perubahan kondisi tersebut tentu sangat bisa dilakukan, dengan perubahan pandangan di masyarakat tentang suatu kondisi dan keadaan. Apakah mungkin kelak Brunei, Filipina, Malaysia, Singapura atau hingga ke Thailand dan Australia bisa menjadi bagian dari Indonesia atau Nusantara? Tentu sangat bisa. Sebab negara tidak ada yang final.
Atau bisa jadi, Negara Indonesia, sewaktu-waktu justru bergabung dengan Australia atau Singapura, tatkala Negara bangkrut dan tak mampu membayar hutang-hutangnya? Maka, selama opini di tengah-tengah masyarakat berubah-ubah maka sistem dan bentuk negara pun bisa berubah. Tentu selama itu disetujui oleh mekanisme yang ada.
Kita sepakati perilaku kudeta terhadap pemerintahan yang sah adalah tindakan pidana dan tentu harus dihukum, tetapi perilaku people power dan ketika rakyat dan mayoritas telah berkehendak untuk berubah haluan, maka inilah yang disebut sesuatu yang belum final.
Rizqi Awal
Ketua Eksekutif Komunitas Politik Pembebasan.
No comments