MASA LALU YANG MEMBANGGAKAN


by Yogie W. Abarri


Senang rasanya setiap kali mendengar ayah saya bercerita tentang masa lalunya.
Terutama ketika ceritanya mulai nyinggung² juga soal PII (Pelajar Islam Indonesia).

Ya. Beliau dahulu di masa mudanya adalah aktivis PII.
Saat Tragedi Kanigoro terjadi (Januari 1965), beliau berusia 18 (jalan 19) tahun. Sudah kuliah, tahun pertama, di UGM.

Beliau pertama kali ikut PII adalah saat SMA.
Selain PII, di sekolahnya ada juga IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), yang meskipun katanya bukan dibentuk oleh PKI tapi faktanya menjadi sarangnya PKI dalam melakukan kaderisasi.

Kebanggaan beliau kepada PII kentara sekali dalam setiap cerita²nya.
Salah tiga di antara cerita² favoritnya adalah tentang Tragedi Kanigoro, tentang PII yang menolak fusi, dan tentang pembubaran PII oleh penguasa.

Tentang Tragedi Kanigoro, ayah saya memang tidak ikut mengalaminya. Tapi beliau ikut bangga.
Kader PII Jatim yang sedang melaksanakan training internal di Ponpes al-Jauhar Kanigoro Kediri, diserang oleh massa PKI.

Meski PII menjadi korban, tragedi tersebut menjadi penegas bahwa keberadaan PII adalah sangat diperhitungkan.
PKI yang saat itu menjadi anak emas penguasa (Sukarno)... menyerang PII?
Berarti PII adalah "sesuatu" banget.

Itulah yang membuat beliau bangga.

Yang kedua adalah cerita beliau tentang PII yang menolak fusi.
Tahun 1973, penguasa (Suharto) melakukan upaya² depolitisasi semua pihak yang berpotensi menjadi lawan/saingan politiknya.

Parpol² yang ada... dilebur (difusikan) menjadi hanya 2 parpol (PPP & PDI) saja. Plus ada 1 kendaraan politik penguasa (Golkar) yang diperlakukan seperti parpol.

Organisasi² profesi, kemasyarakatan, kepemudaan, dll... dikontrol, diarahkan, dan "dibina" oleh penguasa.

Fokus ke PII...
Semua organisasi kepemudaan, dilebur menjadi satu. Yaitu ke KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia).

KNPI berasas Pancasila. Sementara PII berasas Islam.
Maka PII kemudian menyatakan menolak fusi (menolak bergabung ke KNPI).
Konsekuensinya, sejak saat itu PII jadi sering bergesekan dengan penguasa.
PII teguh di atas asas yang diperjuangkannya.

Itulah yang membuat beliau bangga.

Dan yang paling beliau banggakan dari ketiga cerita favoritnya, adalah yang ketiga. Justru adalah tentang pembubaran PII.

Upaya depolitisasi terus dilakukan oleh penguasa (Suharto). Puncaknya adalah keluarnya Tap MPR No. 2/1983 dan UU No. 3/1985, tentang Astung (asas tunggal).
Pancasila yang tadinya hanyalah asas negara (sementara parpol, ormas, dll boleh pakai asas lain), sejak saat itu diwajibkan untuk menjadi asas bagi apapun (termasuk parpol, ormas, dll).

Fokus ke PII...
Ketika akhirnya semuanya bersimpuh, berlutut, dan mencium kaki penguasa (menerima Astung), PII tetap menolak.
Meski pihak² penerima Astung itu banyak yang ngaku² itu hanya strategi saja, tapi faktanya tetap menerima Astung. Hanya PII sajalah (cerita ayah saya) yang berani tegas men-zhahir-kan penolakan tersebut (menolak Astung secara terang²an).

Akibatnya?
Oleh penguasa, di tahun 1985 itu juga, PII langsung dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Sampai sekarang PII masih ada. Tapi (kata ayah saya) sudah berbeda dengan PII yang dahulu beliau ikuti.
Di mata beliau, PII yang sejati sudah "mati".
"Mati" secara jantan. Gagah. Terhormat.
Tetap teguh berasas Islam, sampai "akhir hayat"-nya.

Itulah yang membuat beliau bangga.


Like Father Like Son

Sejak saat itu, Ayah jadi jarang bicara soal Islam Politik (Siyäsah). Termasuk ke anak²nya.

Tapi, taqdir itu memang ajaib. Dan kalau dipikir², kadang agak lucu juga.

Kami anak² beliau, oleh Allah SWT semuanya ditaqdirkan bertemu dgn HTI. Tidak secara bersamaan, tapi dengan jalannya masing².
Hasilnya?
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
al-Hamdu liLLäh.

Saya sendiri... Allah SWT taqdirkan bertemu dengan HTI pada tahun 1995. Hanya berjarak 10 tahun dari sejak PII dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh penguasa.
Hanya berjarak 10 tahun dari mulai diamnya Ayah dari berbicara soal Islam Politik.

Awalnya tentu Ayah curiga. Tak jauh beda dengan para ortu lainnya (yang memang peduli kepada anaknya).
Tapi setelah dijelaskan, ketika itu beliau diam.
Tidak menyatakan ACC; tapi melarang pun tidak.

Barulah setelah beberapa waktu setelahnya, beliau akhirnya membuka jati dirinya dan bercerita tentang masa lalunya bersama PII.
Dari sekian banyak cerita yang beliau sampaikan, tiga cerita di atas itulah yang tampak paling beliau banggakan.

Pasca itu, setiap kali beliau bertemu dengan kawan lamanya yang dahulu bersama di PII, beliau selalu mempromosikan HTI.
Yang paling getol memperjuangkan penerapan Syariah Islam _käffah_ dan secara tegas berasas Islam sebagaimana PII dahulu, ya HTI.
Kalau kita dahulu di PII, maka anak² kita seharusnya di HTI.

Begitu kira² inti pembicaraan beliau selalu.

Semakin banyak yang beliau lihat dan ketahui tentang sepak terjang dan konsistensi HTI, menjadi semakin besar pula dukungan beliau.

Apalagi setelah penguasa yang zhalim kepada rakyatnya ini mulai terang²an menabuh genderang perangnya melawan HTI. HTI berarti "sesuatu" banget.
Dan setelah beliau mengetahui (dari saya), bahwa HTI akan terus melanjutkan dakwah ini, apapun yang terjadi dan apapun resikonya.

Karena Ummat membutuhkan kita, butuh ada yang membela mereka dari kezhaliman penguasanya.
Lagipula, ini adalah kewajiban dari Allah SWT, sehingga gak ada urusannya dengan persetujuan manusia, apalagi bila manusia itu adalah antek penjajah dan penghisap darah rakyat.


*Kenangan bagi Anak-Cucu*

_"Ingin dikenang sebagai apa kita oleh anak-cucu kita setelah kita mati kelak?"_
Itu yang pernah saya dengar saat hadir dalam suatu acara motivasi bisnis.

Rasa bangga saya kepada ayah saya yang bertambah² setelah saya tahu bagaimana beliau semasa mudanya dulu, bukan tidak mungkin itu juga akan dialami oleh anak-cucu kita kelak.

Ketika khilafah kembali tegak kelak, sebagaimana yang telah Allah SWT janjikan, dan juga sebagaimana yang sudah intelijen Barat prediksikan...
dan anak-cucu kita kelak hidup di dalam naungan khilafah tersebut...
apa yang mereka kenang dari kita?
Bahwa bapak or kakeknya ini dulu turut terlibat dalam memperjuangkan tegaknya khilafah tersebut?
Atau malah memusuhinya dan berusaha mencegah tegaknya?
Atau sekedar jadi penonton saja?

Dan yang lebih penting lagi... bila anak-cucu kita saja kelak bakal menilai kita... lalu bagaimana dengan Allah?
Saat kita kembali kepada Allah kelak, catatan seperti apa yang akan kita bawa serta?

Akankah catatan itu penuh dengan bukti² keterlibatan kita dalam memperjuangkan tegaknya agamaNya?
Atau malah dalam memusuhi agamaNya?
Atau dalam membela musuh² agamaNya?

Dalam membela hak² rakyat?
Atau dalam menghisap darah rakyat?
Atau dalam melindungi penghisap darah rakyat?

Dalam mencintai ulama?
Atau dalam mengkriminalisasi ulama?

Dalam upaya menyatukan Ummat Islam?
Atau dalam mengadu domba antar elemen Ummat Islam?

Dll, dll.

Maka hendaknya marilah hal tersebut kita perhatikan dengan sebaik²nya.

Benarlah yang mengatakan...
_"Resiko terberat dari perjuangan, adalah mati._
_Padahal, tidak berjuang pun juga akan mati._
_Berarti, mati itu bukan resiko perjuangan."_ []

#KamiBersamaHTI
#HTIJagaIndonesia
#KhilafahAjaranIslam

No comments

Powered by Blogger.